KHILAFAH ITU MULIA, HARAM UNTUK DINISTA

 


Buletin Kaffah No. 266 (03 Rabi’ul Akhir 1444 H/28 Oktober 2022 H)

Islam adalah agama bagi mayoritas penduduk di negeri ini. Namun, yang menyakitkan hati, berkali-kali ajaran Islam justru dinistakan di negeri ini. Berkali-kali juga para penista Islam selalu lolos dari jerat hukum. Belakangan, seorang komisaris BUMN bernama Dede Budhyarto, melecehkan salah satu ajaran Islam yang mulia, yakni Khilafah. Dalam akun twitter-nya, Komisaris independen PT Pelni ini, yang juga relawan Jokowi, memplesetkan kata khilafah dengan ditambahi cacian kasar berbahasa Inggris. 


Meski reaksi keras berdatangan dari banyak kalangan, sang komisaris menolak meminta maaf. 

Khilafah Ajaran Islam

Menyatakan Khilafah bukan ajaran Islam, juga menyatakan tidak ada bentuk baku kekhilafahan, adalah sesat pikir. Apalagi secara gegabah sebagian dari pencela Khilafah mengatakan bahwa Khilafah tidak ada dalam al-Quran dan as-Sunnah. Tudingan-tudingan itu adalah upaya mengaburkan dan memfitnah ajaran Islam tentang kekhilafahan.

Jelas, kewajiban menegakkan Khilafah telah ditetapkan berdasarkan dalil al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat. Pertama: Dalil al-Quran. Di dalam al-Quran terdapat ayat-ayat yang memerintahkan kaum Muslim untuk taat kepada ulil amri (QS an-Nisa’ [4]: 59), juga kewajiban menerapkan hukum-hukum Allah SWT. Mereka yang tidak memberlakukan hukum-hukum Allah SWT disebut oleh Allah SWT sebagai kafir, zalim dan fasik (QS al-Mâ'idah [5]: 44-45, 47). Faktanya, tanpa Khilafah sebagaimana saat ini, hukum-hukum Allah SWT memang tak bisa diberlakukan.

Selain itu, Imam al-Qurthubi, seorang ulama besar dari mazhab Maliki, menjadikan QS al-Baqarah ayat 30 sebagai dalil atas kewajiban mengangkat seorang khalifah. Artinya, ayat tersebut merupakan dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah. “Ayat ini merupakan dalil paling asal/pokok mengenai kewajiban mengangkat seorang imam atau khalifah yang wajib didengar dan ditaati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan hukum-hukum khalifah. Tidak ada perselisihan pendapat tentang kewajiban tersebut di kalangan umat Islam maupun di kalangan ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-Asham.” (Imam al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264-265).

Kedua: Dalil as-Sunnah. Di dalam as-Sunnah Rasulullah saw. telah mengingatkan kaum Muslim akan kewajiban membaiat seorang khalifah. Dengan kata lain, mereka wajib menegakkan Khilafah. Mereka berdosa besar jika meninggalkan kewajiban ini. Sabda beliau:


مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِى عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

Siapa saja yang mati dalam keadaan tidak ada baiat (kepada imam/khalifah) di lehernya, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliah (berdosa besar) (HR Muslim).

Berdasarkan hadis di atas, Syaikh ad-Dumaiji menyatakan bahwa mengangkat seorang imam atau khalifah hukumnya wajib (Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 50).

Ketiga: Dalil Ijmak Sahabat. Sebagaimana diketahui, tidak lama usai Rasulullah saw. wafat, para Sahabat ra. telah berijmak bahwa harus ada pengganti beliau dalam urusan pemerintahan, yakni untuk mengurusi kepentingan umat dan melaksanakan syariah Islam. Karena itu mereka segera berkumpul di Saqîfah Bani Sa’idah untuk bermusyawarah hingga mereka sepakat untuk memilih Abu Bakar ra. sebagai khalifah pertama. Sejak itulah Khilafah Islam berdiri sebagai pelanjut Daulah Islam era Nabi saw. 

Selain itu bahasan tentang kewajiban menegakkan Khilafah sudah masyhur bahkan telah menjadi kesepakatan (ijmak) para ulama Ahlus Sunnah. Bentuk baku Khilafah juga telah banyak dibahas oleh para ulama. Kajian-kajian seputar Khilafah bertebaran di berbagai kitab, baik fikih, tafsir dan syarh hadis.

Profesor Dr. Wahbah Zuhaili pada bab “Sulthah at-Tanfîdz al-‘Ulyâ – al-Imâmah” merangkum pendapat para ulama dari berbagai mazhab tentang kewajiban menegakkan Khilafah. Menurut beliau hanya segelintir kelompok yang menolak kewajiban mendirikan Khilafah, yaitu sebagian kecil kelompok Khawarij dan Muktazilah. Adapun mayoritas ulama mazhab—bahkan seluruh ulama Ahlus Sunnah—menyatakan wajib mendirikan Khilafah (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, 6/663-668).

Selanjutnya, Syaikh Dr. Wahbah az-Zuhaili rahimahulLâh mengemukakan beberapa definisi khilafah menurut para ulama. Di antaranya, menurut ad-Dahlawi, “Khilafah adalah kepemimpinan umum untuk menegakkan agama dengan menghidupkan ilmu-ilmu agama; menegakkan rukun-rukun Islam; menegakkan jihad dan hal-hal yang berhubungan dengannya, seperti pengaturan tentara serta kewajiban-kewajiban untuk orang yang berperang dan pemberian harta fa’i kepada mereka; menegakkan peradilan dan hudûd; menghilangkan kezaliman; serta melakukan amar makruf nahi mungkar, sebagai pengganti dari Nabi saw.” (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, 6/661).

Jelas sudah, Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam. Bukan ajaran kelompok tertentu. Mendirikan Khilafah wajib atas seluruh kaum Muslim. Bahkan para ulama menyebut penegakan Khilafah sebagai mahkota kewajiban. Artinya, dalam Islam, Khilafah itu mulia. Karena itu Khilafah haram untuk dinista. 

Dosa Besar!

Penistaan terhadap ajaran Islam, di antaranya Khilafah, otomatis merupakan penistaan terhadap syariah Islam. Tindakan ini disebut istikhfâf bi al-ahkâm al-syar’iyyah (penghinaan terhadap hukum-hukum syariah Islam). Istikhfâf bisa dilakukan melalui ucapan, perbuatan atau keyakinan. 

Para fuqaha telah sepakat bahwa siapa saja yang menghina hukum-hukum Islam dihukumi murtad (kafir), yaitu keluar dari agama Islam dan wajib dihukum mati jika tak bertobat kepada Allah SWT (Al-Mawsû’ah al-Fiqhiyyah, 3/251). 

Dalilnya adalah firman Allah SWT:

قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ . لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

Katakanlah, “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu mengolok-olok?” Tak usahlah kalian meminta maaf karena kalian telah kafir sesudah beriman.” (TQS at-Taubah [9]: 65-66). 

Namun demikian, para fuqaha memberikan catatan, perkataan yang dapat memurtadkan pengucapnya ada dua macam: Pertama, perkataan yang maknanya pasti/tegas atau terang-terangan, yaitu yang hanya mempunyai satu pengertian; tak dapat ditakwilkan/diartikan dengan maksud lain (mâ lâ yahtamilu at-ta`wîl). Siapa saja yang mengeluarkan perkataan jenis pertama ini, misalnya mengatakan Nabi Isa as. adalah anak Allah, atau agama Islam adalah karangan Nabi Muhammad saw., dan yang semisalnya, dia dihukumi telah kafir.

Kedua, perkataan yang maknanya tak pasti atau ucapan kinâyah (sindiran), yakni perkataan yang memungkinkan lebih dari satu maksud, atau perkataan yang dapat ditakwilkan/diartikan dengan maksud lain (mâ yahtamilu al ta`wîl. Siapa saja yang mengucapkan perkataan jenis kedua ini, tak dapat dikafirkan. Syaikh Abdurrahman al-Maliki berkata, ”Seseorang tak dapat dikafirkan karena perkataannya, kecuali perkataan yang mengandung kekufuran secara pasti.” (Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât, hlm. 85).

Selain itu, ketidaktahuan terhadap hukum syariah Islam dapat menjadi unsur pemaaf (‘udzur syar’i) jika seorang Muslim dan orang-orang yang semisal orang itu memang tak mengetahui suatu hukum syariah Islam karena kebodohan mereka (An-Nabhani, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, hlm. 175).

Oleh karena itu, penista Khilafah mesti dilihat: Jika dia sebenarnya tahu bahwa Khilafah adalah bagian dari syariah Islam, lalu terang-terangan sengaja menistanya, maka dia murtad. Namun, jika dia mengucapkan atau membuat tulisan yang sepertinya menistakan Khilafah, tetapi bisa diartikan lain, maka dia tidak divonis kafir. Begitu pula orang yang tidak tahu bahwa Khilafah adalah kewajiban di dalam Islam, lalu ia mencaci Khilafah, maka ia pun tidak divonis murtad.

Umat Butuh Khilafah

Keberadaan Khilafah di tengah umat sangatlah vital. Tanpa Khilafah kemuliaan Islam dan umatnya juga tercabik. Tak ada yang melindungi dan membela. Imam an-Nawawi dalam salah satu kitabnya mengatakan, “Sudah menjadi keharusan bagi umat adanya seorang imam (khalifah) yang menegakkan agama, menolong sunnah, menolong orang-orang yang dizalimi, memenuhi hak-hak dan menempatkan hak-hak pada tempatnya.” (An-Nawawi, Rawdhah ath-Thâlibîn wa ‘Umdah al-Muftîn, 3/433).

Bukankah terbukti hari ini, ketika kaum Muslim hidup bukan dalam naungan Khilafah, hasilnya adalah penderitaan? Sumber daya alam dijarah oleh kaum penjajah. Negeri mereka dijerat utang yang mencekik. Para penguasa terus menaikkan pajak dan mengurangi subsidi demi membayar utang dan bunga utang yang terus membengkak.

Kaum Muslim juga terpecah-belah. Mereka pun ditindas oleh umat lain tanpa ada yang mau menolong apalagi membalaskan kezaliman tersebut. Darah Muslim Myanmar, Suriah, Palestina, Uyghur masih terus tumpah. Ironisnya, negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia, masih terus berhubungan baik dengan negara-negara kafir harbi, seperti Cina komunis yang terus melakukan kezaliman terhadap Muslim Uyghur. 

Tanpa Khilafah juga, banyak hukum Islam yang tidak bisa dilaksanakan umat pada hari ini. Hukum pidana, ekonomi dan muamalah, jihad, politik dan pemerintahan tak bisa diaplikasikan. Hukum-hukum tersebut hanya menghiasi lembaran-lembaran kitab fikih tanpa bisa diamalkan dan diterapkan. Padahal sudah jelas kaum Muslim wajib melaksanakan semua hukum-hukum Allah SWT. 

Alhasil, akar persoalan kita pada hari ini adalah ketiadaan penerapan syariah Islam oleh Khilafah. Lalu mengapa umat malah mencari jawaban pada sistem selain Islam? []

---*---


Hikmah:

Imam an-Nawawi rahimahulLâh berkata:

وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ نَصْبُ خَلِيفَةٍ وَوُجُوبُهُ بِالشَّرْعِ لَا بِالْعَقْلِ

Para ulama telah berijmak (bersepakat) bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang khalifah. Kewajiban ini berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal. (An-Nawawi, Syarh an-Nawawi alâ Shahîh Muslim, 12/231). []

---*---


Download Buletin Dakwah Kaffah versi PDF & simak versi audio di:

https://buletinkaffah.com

Posting Komentar untuk "KHILAFAH ITU MULIA, HARAM UNTUK DINISTA"