Pertanyaan:
Ada yang mengatakan bahwa istidlâl Hizbut Tahrir dan sebagian fukaha atas penundaan pemakaman jenazah Nabi saw. sebagai dalil atas kewajiban membaiat seorang khalifah adalah tidak benar. Pasalnya, penundaan itu disebabkan oleh sebab-sebab lainnya seperti penundaan kaum Muslim untuk penyiapan jenazah. Yang menjadi dalil adalah semata-mata kewafatan Nabi saw., lalu mereka mengangkat seorang imam/khalifah. Inilah dalil atas kewajiban baiat kepada Khalifah dan bukan penundaan pemakanan jenazah Nabi saw. Jadi tidak ada hubungan penundaan pemakanan jenazah itu dengan baiat.
Bagaimana penjelasan atas masalah ini secara rinci?
Jawab:
Sebelum menjawab masalah seputar penundaan pemakaman jenazah Nabi saw., ada baiknya disebutkan beberapa perkara ushul tentang beberapa hukum syariah.
Asal dalam perintah secara syar’i memberikan pengertian “tuntutan untuk mengerjakan (thalab al-fi’li)”. Perintah ini memerlukan indikasi (qarînah) yang menjelaskan jenis tuntutannya. Jika qarînah dari perintah itu memberi faedah pasti/tegas (jazm) maka tuntutan perintah itu juga bersifat jazm (pasti/tegas), yakni fardhu/wajib. Jika qarînah-nya tidak memberikan pengertian jazm, tetapi sekadar penguatan (tarjîh) atas kebaikan di dalamnya maka tuntutan perintah itu juga tidak jazm (tegas/pasti), yakni hanya mandûb/sunnah saja. Jika qarînah-nya memberikan pengertian pilihan maka tuntutan perintahnya sekadar menunjukkan makna mubah/halal.
Ini berlaku atas setiap nas syariah di dalam Kitabullah atau Sunnah Rasulullah saw. Di dalam al-Quran, misalnya, Allah SWT berfirman:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Jika telah ditunaikan shalat, bertebaranlah kalian di muka bumi, carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyak supaya kalian beruntung (QS al-Jumu’ah [62]: 10).
Di sini ada perintah “fa[i]ntasyirû (bertebaranlah kalian)”, yakni tuntutan keluar dari masjid setelah shalat Jumat. Dalam hal ini, kita bisa mencari qarînah untuk kita lihat apakah intisyâr—yakni keluar dari masjid setelah selesai shalat—itu sebagai fardhu, mandub atau mubah? Lalu kita mendapati bahwa kaum Muslim dulu setelah selesai shalat Jumat ada yang keluar segera dan ada juga yang duduk sebentar atau lama. Yang demikian mereka lakukan dengan persetujuan Rasul saw. Artinya, orang yang keluar dan yang duduk sama saja. Ini menunjukkan bahwa “fa[I]ntasyirû (bertebaranlah kalian)” merupakan perintah yang menunjukkan tuntutan atas ibâhah (pilihan).
Contoh lain: berdiri untuk menghormati jenazah. Syu’bah telah menceritakan dari Abdullah bin Abi as-Safar yang berkata: Aku mendengar asy-Sya’bi menceritakan dari Abi Said:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَرُّوا عَلَيْهِ بِجَنَازَةٍ فَقَامَ. وَقَالَ عَمْرٌو: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَرَّتْ بِهِ جَنَازَةٌ فَقَامَ
“Sungguh mereka membawa sesosok jenazah melewati Rasulullah saw. lalu beliau berdiri.” Amru berkata, “Sungguh Rasulullah saw. dilewati sesosok jenazah lalu beliau berdiri.” (HR an-Nasa’i).
Perbuatan Rasul saw. ini berfaedah tuntutan untuk berdiri. Kemudian kita bisa mencari qarînah untuk mengetahui apakah tuntutan itu jazm sehingga menjadi fardhu, atau tidak jazm disertai tarjîh sehingga menjadi mandûb, atau pilihan sehingga menjadi mubah. Kita menemukan di dalam Sunan an-Nasa’i riwayat dari Ayyub dari Muhammad:
أَنَّ جَنَازَةً مَرَّتْ بِالْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ وَابْنِ عَبَّاسٍ، فَقَامَ الْحَسَنُ وَلَمْ يَقُمْ ابْنُ عَبَّاسٍ، فَقَالَ الْحَسَنُ: أَلَيْسَ قَدْ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِجَنَازَةِ يَهُودِيٍّ؟ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: نَعَمْ، ثُمَّ جَلَسَ صلى الله عليه وسلم.
Sesosok jenazah dibawa melewati Hasan bin Ali dan Ibnu Abbas. Lalu Hasan berdiri, sementara Ibnu Abbas tidak berdiri. Kemudian Hasan berkata, “Bukankah Rasulullah saw. pernah berdiri untuk jenazah seorang Yahudi?” Ibn Abbas berkata, “Benar, kemudian beliau (juga) duduk.” (HR an-Nasa’i).
Berdasarkan kedua hadis di atas, berdiri dan duduk saat jenazah lewat itu pilihan, yakni mubah.
Begitu juga terkait baiat para Sahabat di Saqifah. Baiat itu merupakan perbuatan yang disepakati oleh para Sahabat. Hal itu menunjukkan tuntutan baiat kepada Khalifah jika jabatan Khilafah kosong. Untuk menetapkan bahwa tuntutan ini merupakan fardhu, mandûb atau mubah, maka kita bisa mencari qarînah-nya. Kita menemukan qarînah-nya memberikan faedah jazm. Pasalnya, para Sahabat mengedepankan baiat atas pemakaman jenazah, padahal memakamkan jenazah itu adalah fardhu. Ini berarti bahwa baiat adalah fardhu dan lebih penting dari kefardhuan memakamkan jenazah.
Atas dasar itu, dalil atas baiat Khalifah jika jabatan Khilafah kosong adalah fardhu. Dalil atas yang demikian adalah penundaan pemakaman jenazah Rasulullah saw. oleh para Sahabat. Begitulah. Penundaan pemakaman dilakukan sampai baiat sempurna. Karena pemakaman jenazah adalah fardhu maka yang dijadikan lebih utama dari pemakaman itu adalah fardhu.
Begitulah. Penundaan pemakaman jenazah sampai sempurna dilakukan baiat menjelaskan bahwa baiat kepada Khalifah adalah wajib dan sebaik-baik fardhu. Ini dari sisi fikih.
Adapun dari sisi ucapan, bahwa penundaan pemakaman tidak ada hubungannya dengan baiat, tetapi demi menyiapkan jenazah, maka perkara ini jauh dari fakta yang terjadi. Berita wafatnya Rasul saw. adalah kejadian yang gamblang didengar oleh para Sahabat di Madinah dan sekitarnya. Kaum Muslim berbondong-bondong ke Madinah dan ke masjid. Akan tetapi, mereka lebih menyibukkan diri dengan memberikan baiat untuk Abbu Bakar baik baiat in’iqâd maupun baiat taat.
Berikut adalah rangkaian kejadian seperti yang dinyatakan di dalam berbagai kitab sirah:
Rasul saw. wafat pada waktu dhuha hari Senin. Jenazah beliau belum dimakamkan hingga malam Selasa. Selasa siang Abu Bakar dibaiat. Jenazah Rasul saw. baru dimakamkan pada tengah malam Rabu, sementara Abu Bakar dibaiat sebelum pemakaman jenazah Rasul saw. Yang demikian itu menjadi ijmak yang menunjukkan bahwa para Sahabat lebih menyibukkan diri dengan mengangkat khalifah daripada pemakaman jenazah. Yang demikian tidak terjadi kecuali bahwa mengangkat khalifah lebih wajib dari pemakaman jenazah.
Oleh karena itu penundaan pemakaman bukanlah karena agar kaum Muslim berkumpul untuk menyiapkan jenazah. Buktinya, saat mereka dan khususnya para Sahabat telah berkumpul, mereka lebih menyibukkan diri untuk berbaiat. Ketika mereka telah selesai membaiat Abu Bakar baik baiat in’iqâd maupun baiat taat, mereka baru menyibukkan diri dengan memakamkan jenazah Rasulullah saw. Kapan itu terjadi? Pada tengah malam setelah mereka menyelesaikan baiat. Seandainya penundaan pemakanan jenazah Rasul saw. itu dimaksudkan agar masyarakat berkumpul untuk sama-sama menyaksikan atau mengurus jenazah, niscaya pada siang hari Senin, atau malam Selasa, atau Selasa siang jenazah Rasul saw. sudah dimakamkan. Akan tetapi, mereka menunggu sampai baiat untuk Abu Bakar sempurna dengan baiat in’iqâd dan baiat taat. Setelah selesai mereka bersegera langsung menyibukkan diri dengan memakamkan jenazah Rasulullah saw. pada tengah malam Rabu.
Oleh karena itu, dengan pemikiran dan perenungan atas penundaan pemakaman jenazah Rasul saw. tersebut, jelaslah bahwa penundaan itu tidak karena suatu sebab kecuali karena mereka telah menyelesaikan baiat kepada Abu Bakar baik baiat in’iqâd maupun baiat taat. Dengan demikian jelas pula hubungan penundaan jenazah Rasul saw. dengan pembaiatan Abu Bakar ra. sebagai khalifah.
[Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, 22 Rabiuts Tsani 1435 H-22 Februari 2014 M/http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_33558]
Posting Komentar untuk "Di Balik Penundaan Pemakaman Jenazah Nabi SAW."