METODE KHILAFAH "MENGELOLA" KEBHINEKAAN & MENYATUKAN NEGARA-NEGARA DI DUNIA



Oleh: Prof. Dr. -Eng. Fahmi Amhar

"..Tanpa perlu dijaga, keberagaman/kebhinekaan akan terus ada secara niscaya. Justru penting bagaimana mengelola dan mengarahkan kebhinekaan kepada hal yang agung, yakni ridha Allah subhanahu wa ta'ala.
Dan hanya dalam institusi Khilafah lah hal tersebut akan terwujud secara nyata.."

Setelah beberapa kali Aksi Bela Islam akhir-akhir ini, muncul reaksi dengan mengusung ide “kebhinekaan”. Aspirasi Islam dicoba dibenturkan dengan kenyataan bahwa NKRI tak hanya “milik” umat Islam semata.

Muncul tudingan bahwa kuatnya ikatan umat pada dîn-nya menjadi sebab labilitas persatuan bangsa dan mengancam kebhinekaan, membuat masyarakat terkotak-kotak.

Karena itu dua kali pula digelar aksi ingin menandingi aksi umat Islam. Semuanya dengan tema kebhinekaan dan keindonesiaan. Hal ini kian menyiratkan bahwa Islam dan persatuan umatnya masih saja dianggap sebagai ancaman kebinekaan. Islam dianggap sebagai agama yang steril dari keberagamaan masyarakat.

MANIPULASI KEBHINEKAAN
Parade kebhinekaan dan keindonesiaan yang digelar beberapa waktu lalu dapat kita baca sebagai upaya misleading antara realita kemajemukan masyarakat dan pluralisme.

Penyelenggara parade berupaya keras memaksa umar Islam agar melepaskan identitas keislaman dan menerima pluralisme. Mereka bahkan menuduh ikatan umat pada agamanya adalah penyebab bangsa ini telah terkotak-kotak dan berkembangnya sikap intoleransi. Karena itu umat Muslim harus menerima pluralisme sebagai konsekuensi hidup kebinekaan.

Apalagi parade kebinekaan itu muncul pasca protes keras umat terhadap penistaan agama yang dilakukan Gubernur petahana DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama, alias Ahok. Penistaan ayat al-Quran oleh Ahok telah memicu kemarahan mayoritas Muslim di negeri ini dan melahirkan Aksi Bela Islam yang muaranya adalah Aksi 411 dan Aksi 212.

Tidak bisa dipungkiri, segelintir orang yang berkepentingan untuk terus memaksakan pluralisme agar dapat diterima umat Islam merasa perlu untuk terus menjaga agar pluralisme tetap hidup. Segala cara mereka lakukan termasuk dengan membajak istilah Bhineka Tunggal Ika sebagai ajaran pluralisme.

Mereka ingin meneror pemikiran umat bahwa persatuan Islam adalah ancaman bagi kehidupan masyarakat yang majemuk dan beragam. Media massa mainstream pun kerap mengekspos berbagai konflik antarumat beragama, khususnya antara elemen umat Islam dan kelompok minoritas. Dengan cara framing pemberitaan, media massa mainstream ingin memberikan pesan bahwa pluralisme itu adalah harga mati, dan kebinekaan itu bermakna pluralisme.

ISLAM & KEBHINEKAAN
Topik kebinekaan dan kemajemukan umat manusia sudah lama memiliki tempat khusus dalam syariah Islam. Hanya Islam yang mengakui keberagamaan manusia baik secara suku bangsa, bahasa, kedudukan sosial, bahkan akidah.

Allah SWT menjadikan umat manusia beragam dari berbagai sisi; jenis kelamin, suku, warna kulit, bahasa, status ekonomi, juga posisi di tengah masyarakat.

Keberagaman itu adalah realita umat manusia. Allah SWT menciptakan manusia dalam ragam suku dan bangsa, misalnya, agar manusia saling mengenal. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sungguh Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sungguh orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sungguh Allah Mahatahu lagi Maha Mengenal (QS al-Hujurat [49]: 13).

Imam Ibnu Jarir ath-Thabari menjelaskan bahwa lafal li ta’ârafû bermakna: agar sebagian kalian saling mengenal sebagian yang lain dalam nasab. Allah SWT berpesan, “Sungguh Kami menjadikan bangsa-bangsa dan suku-suku ini untuk kalian, wahai manusia, agar kalian saling mengenal satu sama lain lain dalam ikatan kekerabatan, bukan untuk keunggulan bagi kalian, tetapi kekerabatan yang mendekatkan kalian kepada Allah. Justru yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling takwa kepada Allah.”

Wilayah kekuasaan kaum Muslim sejak rentang zaman Nabi saw. hingga Khilafah Utsmaniyah meliputi Jazirah Arab, benua Afrika, Asia hingga Eropa. Ulama Islam terdiri dari beragam etnis. Imam al-Bukhari berasal dari kawasan Desa Bukhara di Uzbekistan, Rusia. Imam Ibn Hazm berasal dari Cordoba, Spanyol, Imam an-Nawawi berasal dari Damaskus, Syam. Ada juga Imam an-Nawawi al-Bantani yang berasal dari Serang, Banten.

Selain Imam an-Nawawi al-Bantani, ada juga Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang juga asli Nusantara. Keduanya sama-sama pernah menjadi imam besar dan mufti di Masjidil Haram. Mereka memimpin shalat dan memberikan fatwa bagai ribuan jamaah yang berasal dari mancanegara, termasuk keturunan Arab dan suku Quraisy.

Ajaran Islam bukan saja menafikan perbedaan suku bangsa dan kabilah, bahkan juga mengharamkan sikap membanggakan suku bangsa dan keturunan. Ubai bin Kaab ra. pernah mendengar seorang pria berkata, “Hai keluarga fulan!” Ubay lalu berkata kepada dia, “Gigitlah kemaluan bapakmu!” Ubay mencela dia terang-terangan tanpa memakai bahasa kiasan! Orang itu berkata kepada Ubay, “Wahai Abul Mundzir (Abu Ubay), engkau bukanlah orang yang suka berkata keji.” Ubay berkata kepada dia, “Sungguh aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ تَعَزَّى بِعَزَاءِ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَعِضُّوهُ وَلاَ تَكْنُوا
Siapa saja yang berbangga-bangga dengan slogan-slogan jahiliah, suruhlah ia menggigit kemaluan ayahnya dan tidak usah pakai bahasa kiasan terhadap dirinya.” (HR Ahmad).

Karena itu dalam Islam tak ada tempat bagi pengusung ide primordialisme atau chauvinisme, yang kerap merendahkan bangsa lain dan menganggap bangsanya atau rasnya lebih superior.

Selain perbedaan suku bangsa dan warna kulit, Islam juga mengakui adanya perbedaan strata sosial-ekonomi sebagai anugerah dari Allah SWT. Tak bisa dipungkiri, dengan iradah-Nya, manusia diciptakan memiliki perbedaan kekayaan, tingkat pendidikan dan profesi. Allah SWT telah menetapkan rezeki di antara manusia dan membagi kedudukan manusia karena rezeki yang telah Ia berikan. Allah SWT berfirman:

نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا
Kami telah menentukan di antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia serta telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain (QS az-Zukhruf [43]: 32).

Imam asy-Syaukani menerangkan, “…Ini adalah galibnya kondisi penduduk dunia. Dengan itu kemaslahatan mereka sempurna, kehidupan mereka teratur dan masing-masing sampai pada apa yang dicari…
Jadi Allah SWT menjadikan sebagian memerlukan sebagian lainnya agar terjadi saling tolong-menolong di antara mereka dalam perhiasan dunia.”

Karena itu sebuah misleading dari kaum liberal yang memelintir fakta pluralistik untuk membenarkan ajaran sesat pluralisme. Padahal antara pluralitas dan pluralisme dua hal yang jelas berbeda.

Kemajemukan masyarakat adalah realita Ilahi. Secara fitrah dan hakiki masyarakat memang plural. Bahkan adanya sebagian manusia yang tetap memilih berada dalam kekufuran juga realitas yang diakui Allah SWT:

وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا
Katakanlah, “Kebenaran itu datang dari Tuhanmu. Siapa saja yang ingin (beriman), hendaklah beriman. Siapa saja yang ingin (kafir), biarlah ia kafir.” Sungguh Kami telah menyediakan bagi orang orang zalim itu neraka yang gejolaknya mengepung mereka (QS al-Kahfi [18]: 29).

Dalam aspek akidah, masyarakat yang hidup dalam naungan Khilafah Islamiyah memiliki corak yang beragam. Wilayah Spanyol dalam naungan Khilafah dikenal sebagai masyarakat dengan ‘tiga agama’. Di dalamnya kaum Muslim hidup berdampingan dalam damai dengan umat Nasrani dan Yahudi. Justru pada saat kekuasaan diambilalih oleh Ratu Isabelle terjadilah perpecahan dan genocide.

Pemaksaan agama kepada umat non-Kristen bahkan dengan cara kekerasan. Karena itu menyatakan bahwa Daulah Khilafah akan meniadakan pluralitas adalah kebohongan besar.

Pluralitas berbeda dengan pluralisme. Pluralisme bukanlah seperti yang diterangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya);—kebudayaan berbagai kebudayaan yang berbeda-beda dalam suatu masyarakat.

Pluralisme adalah penyamaan kedudukan semua agama dan keyakinan—bukan saja strata sosial—di  tengah masyarakat. Ini sebagaimana pernyataan salah seorang tokoh liberal, Budhy Munawar Rahman, “Karenanya, yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan masalah pluralisme antaragama, yakni pandangan bahwa siapapun yang beriman—tanpa melihat agamanya apa—adalah sama di hadapan Allah SWT. Karena, Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu.”

Konsep pluralisme muncul dengan alasan fanatisme agama telah menimbulkan pengkotak-kotakkan masyarakat dan disharmonisasi. Karena itu harus ada cara pandang pluralisme; mendudukkan semua agama dan keyakinan sama rendah dan sama tinggi, termasuk sama benarnya. Jadi, tak ada lagi terminologi kufur dan iman karena keduanya dikaburkan bahkan dihilangkan.

Alasan kaum pendukung pluralisme menuding Islam sebagai pemicu sikap intoleran dan menafikan pluralitas bertolak belakang dengan realitas empirik. Pada masa Kekhilafahan Islam tidak pernah ditemukan penindasan kepada kelompok non-Muslim sekalipun penguasanya adalah kaum Muslim dan memberlakukan syariah Islam. Bahkan pembayaran jizyah maupun kharaj yang dilakukan warga non-Muslim tidak boleh dilakukan dengan cara menyusahkan mereka.

Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan: telah menceritakan kepada kami Waki’ telah menceritakan kepada kami Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Ibnu Hizam dia pernah melewati orang-orang dzimmi yang dijemur di bawah matahari di Syam. Lalu dia bertanya, “Ada apa dengan mereka?” Mereka menjawab, “Mereka adalah ahlul jizyah.” Lalu Hisyam bin Urwah berkata: Saya bersaksi saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ عَذَّبَ النَّاسَ فِى الدُّنْيَا عَذَّبَهُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
Siapa saja yang menyiksa manusia di dunia, Allah SWT akan menyiksa dirinya (pada Hari Kiamat).

Hisyam ra. berkata, “Amir mereka di Palestina pada waktu itu adalah Umair bin Saad.”
Hisyam ra. berkata: Lalu Hakim ra. menemui dia dan menceritakannya hingga melepaskan mereka.

Diskriminasi terhadap kelompok minoritas non-Muslim juga tidak terjadi  di Indonesia.  Pemicu konflik antarumat beragama yang melibatkan elemen umat Islam justru dipicu oleh perilaku kalangan non-Muslim. Kasus pengrusakan gereja di Singkil, Aceh, adalah dampak dari arogansi umat Kristen.

Sebaliknya, Eropa yang kental liberalismenya justru memperlihatkan naiknya angka kebencian terhadap Islam. Beberapa negara seperti Jerman, Prancis, Italia, Belanda melarang penggunaan burqa di tempat-tempat umum. Sikap diskriminasi terhadap umat Islam makin sering terjadi. Ini bukti bahwa liberalisme justru menyuburkan sikap antitoleransi, khususnya kepada kaum Muslim.

PERLINDUNGAN ISLAM
Islam adalah sistem kehidupan yang telah menjamin kebersamaan dan keadilan bagi semua manusia. Secara fikrah maupun tharîqah, seluruh hukum Islam memberikan perlindungan bagi semua kalangan; lintas sosial, suku bangsa, bahkan hingga lintas agama.

Dalam sistem Islam tidak dikenal dikotomi masyarakat mayoritas-minoritas. Sekalipun kaum Muslim dominan di suatu wilayah Daulah Khilafah, bukan berarti mereka memiliki privilege atau hak prerogatif yang tidak bisa dimiliki warga minoritas. Di hadapan syariah Islam semua warga adalah sama. Tidak ada gap dan arogansi warga mayoritas.
Perlindungan Islam terhadap akidah masyarakat bukan saja berlaku bagi kaum Muslim, tetapi juga non-Muslim. Ada larangan memaksa non-Muslim untuk masuk agama Islam, kecuali dengan metode dakwah yang terbuka. Allah SWT berfirman:

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sungguh telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat (QS al-Baqarah [2]: 256).

Kaum Muslim juga dilarang untuk menghina keyakinan dan simbol-simbol agama kalangan non-Muslim, sebagaimana firman-Nya:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ الله فَيَسُبُّوا الله عَدوَا بِغَيرِ عِلْمٍ
Janganlah kalian memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan (QS al-An’am [6]: 108).

Praktik hidup berbhineka, majemuk, plural atau apapun sebutannya telah menjadi catatan emas dalam sejarah dunia yang ditorehkan umat Islam dan para khalifah mereka. Tak ada diskriminasi, gap atau hak privilege pada satu kelompok di atas kelompok lain.

Semua terwujud dalam satu wadah Khilafah Islamiyah, yang di dalamnya aturan Islam yang agung dapat diterapkan dan memberikan jaminan kehidupan yang terbaik bagi seluruh masyarakat. Hal ini telah diakui oleh para sejarahwan Barat. T.W. Arnold dalam bukunya, The Preaching of Islam, menyatakan bahwa Uskup Agung Kristen dan Sinoda Agung bebas memutuskan segala hal yang berkenaan dengan keyakinan dan dogma tanpa menerima intervensi apapun dari negara. Hal ini justru tidak pernah terjadi pada masa pemerintahan para Kaisar Byzantium.

Keadilan dan kebersamaan status di mata hukum yang membuat kalangan non-Muslim tetap tunduk dan menjaga keutuhan Khilafah Islamiyah sekalipun ada masa jumlah warga non-Muslim lebih dominan dibandingkan kalangan kaum Muslim.

PELEBURAN BANGSA-BANGSA KE DALAM KHILAFAH
Menjaga kebhinekaan secara “membabi buta” adalah lumrah dalam pluralisme, turunan dari sekularisme. Doktrin pluralisme mewajibkan agar semua kelompok masyarakat diberi ruang yang sama untuk didengarkan, kesempatan sama untuk berkembang, dan peluang sama untuk berkontribusi. Ini berlaku juga pada kelompok Ahmadiyah, Syiah, LGBT, juga pada masyarakat adat yang masih kental dengan mistik, tahayul dan tradisi sejenisnya.

Pelajaran dari Sejarah Islam

Setelah berhasil menghilangkan kemusyrikan dan membangun negara yang memerintah dengan Islam, Rasulullah saw. melanjutkan dakwahnya ke seluruh dunia dengan mengirim surat kepada para raja dan dengan sejumlah ekspedisi militer. Setelah beliau wafat, datang Khulafa’ ar-Rasyidun dan pembebasan berlanjut.

Irak yang penduduknya campuran Nasrani, Mazdak, dan Zoroaster baik etnis Arab maupun Persia berhasil dibebaskan. Demikian selanjutnya: Persia yang penduduknya orang-orang ‘ajam dan sedikit Yahudi; Syam yang bawahan Romawi dan beragama Nasrani dengan penduduknya etnis Suriah, Armenia, Yahudi, Romawi dan Arab; Mesir terdiri dari bangsa Mesir, Yahudi dan Romawi;’ dan Afrika Utara yang penduduknya bangsa Barbar.

Pada masa Umayah, mereka membebaskan Sind, Khawarizm dan Samarkand di Asia Tengah; lalu Spanyol, dan sebagian Eropa. Berbagai negeri itu memiliki aneka suku, bahasa, agama, adat-istiadat, undang-undang, dan kebudayaan. Artinya, secara alami memiliki beragam pola pikir (‘aqliyyah) dan pola sikap (nafsiyyah). Karena itu upaya peleburan dan pembentukan umat yang satu tentu sangat sulit dan melelahkan. Namun, keberhasilan tersebut merupakan perkara yang luar biasa dan tidak pernah terjadi untuk selain Islam, juga tidak pernah terealisasi kecuali dengan Khilafah Islam.

Setelah semua bangsa ini berada di bawah panji Islam dan Khilafah Islam memerintah mereka, jadilah mereka umat yang satu karena empat faktor: (1) Perintah-perintah Islam; (2) Pembauran; (3) Masuk Islamnya penduduk negeri yang dibebaskan; (4) Proses revolutif pada semua muallaf.

Perintah-perintah Islam.

Islam mengharuskan pemeluknya menyerukan Islam, mengemban dakwahnya dan menyebarkan hidayahnya sekuat tenaga. Hal ini mengharuskan jihad dan pembebasan negeri-negeri sehingga memberi kesempatan pada manusia untuk memahami Islam dan menyandar pada hukum-hukumnya.

Islam juga menuntut adanya kebebasan kepada manusia untuk memilih. Jika menghendaki Islam, mereka dapat memeluknya. Jika tidak, mereka dapat tetap dalam agamanya dan cukup tunduk pada hukum-hukum Islam dalam muamalah dan ‘uqûbât. Semua itu agar tercapai keharmonisan dalam aktivitas manusia dengan peraturan yang memberikan solusi atas persoalan hidup mereka; juga untuk menumbuhkan perasaan pada warga non-Muslim bahwa kedudukan mereka adalah sama dengan kaum Muslim.

Masyarakat bersama-sama menerapkan sistem yang diberlakukan, menikmati ketenteraman dan berlindung di bawah naungan panji Khilafah. Islam mengharuskan agar memandang yang diperintah dengan pandangan kemanusiaan, bukan sektarian, kelompok, atau mazhab. Karena itu penerapan hukum atas seluruh komponen masyarakat harus sama, tidak membedakan Muslim dengan non-Muslim, sebagaimana dinyatakan oleh Allah SWT (yang artinya): Janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Mahatahu tahu atas apa yang kalian kerjakan (TQS al-Maidah [5]: 8).

Ayat ini sangat “mendahului zaman” hingga dipajang di dinding utama Law School-Harvard University, sebagai yang paling menginspirasi di dunia hukum.

Khilafah Islam memberi perlakukan sama terhadap semua manusia dalam pelayanan pemerintah dan peradilan. Seorang penguasa saat memelihara urusan rakyat, dan qadhi saat memutuskan perkara, tidak boleh memandang orang yang diperintah atau yang diputuskan perkaranya, dengan pandangan apa pun selain pandangan kepada manusia dalam memelihara urusannya dan menyelesaikan perselisihannya.

Islam juga mengharuskan sistem pemerintahan adalah kesatuan, juga mengharuskan penjaminan kebutuhan setiap wilayah dengan pendanaan dari Baitul Mal negara, tanpa memperhatikan apakah pemasukan wilayah tersebut sedikit atau banyak, cukup atau tidak. Islam pun mengharuskan kesatuan pengelolaan harta dengan berbagai pemasukannya untuk Baitul Mal yang berasal dari seluruh wilayah.

Dengan demikian semua negeri yang dibebaskan menjadi wilayah dalam negara yang satu, yang menjadikannya berada dalam pemerintahan yang berjalan secara pasti dalam metode peleburan.

Pembauran.

Interaksi kaum Muslim sebagai pembebas dengan penduduk yang dibebaskan adalah faktor yang terbesar pengaruhnya. Ini karena kaum Muslim, setelah membebaskan negeri-negeri, tinggal di situ dan mengajarkan Islam pada penduduknya. Mereka tinggal bersama penduduk setempat, bertetangga, bekerjasama, bahkan saling membentuk keluarga. Mereka tidak menjelma menjadi dua kelompok yang terpisah, yang menang dan yang kalah; melainkan menjadi satu, sebagai rakyat satu negara yang saling tolong-menolong dalam seluruh urusan kehidupan.

Penduduk asli melihat sesuatu yang berbeda pada diri para penguasa, yang belum pernah mereka kenal. Mereka melihat para penguasa itu menyejajarkan diri dengan mereka dan melayani mereka dalam kepentingannya dan pemenuhan kebutuhannya. Mereka pun akhirnya menampakkan sifat-sifat luhur sehingga dicintai oleh para penguasa dan Islam.

Para penguasa dan seluruh kaum Muslim boleh menikahi wanita Ahlul Kitab dan memakan sembelihan dan makanan mereka. Pembauran ini menjadi pendorong bagi mereka untuk memeluk Islam karena mereka melihat pengaruh Islam dalam diri para penguasa. Dengan demikian bangsa-bangsa ini saling meleburkan diri dan akhirnya menjadi umat yang satu.

Tradisi atau adat-istiadat yang sejalan dengan Islam, misalnya kuliner halal, corak pakaian yang masih syar’i, arsitektur ataupun cerita rakyat yang bermuatan luhur, rupanya terus dibiarkan hidup. Karena itulah pembauran itu tidak membuat budaya seluruh Dunia Islam menjadi monolitik seperti budaya Arab, tetapi tetap penuh warna, dan itu indah.

Masuk Islamnya sebagian besar penduduk.

Masuknya negeri yang dibebaskan ke dalam Islam adalah hal yang umum terjadi. Penduduk daerah yang dibebaskan secara berkelompok bersyahadat. Sebagian besar dari mereka masuk Islam dan Islam tidak lagi terbatas menjadi agama orang yang membebaskan. Mereka lalu melebur dengan bangsa yang membebaskan, kemudian menjadi satu umat.

Manusia memang tidak bisa memilih mereka akan dilahirkan dari orangtua seperti apa? Dari suku mana? Muslim, ahli kitab atau agama apa? Ras kulit putih, kulit hitam atau apa? Apakah dari golongan kaya atau miskin, bangsawan atau budak? Namun, dalam perjalanan hidupnya mereka pasti bisa memilih, apakah akan menjadikan Islam sebagai cara hidupnya atau yang lain (Lihat: QS al-Hujurat [49]: 13).

Bahkan belum tentu anak seorang Muslim adalah yang nantinya paling bertakwa. Boleh jadi, para muallaf yang baru mengenal Islam setelah dewasalah yang meraih kemuliaan takwa itu.

Agama adalah satu-satunya yang bisa diubah dengan penuh kesadaran. Itulah yang bisa meleburkan. Tidak akan terjadi apartheid seperti di negara-negara jajahan Barat, terakhir di Afrika Selatan.

Selain oleh satu agama yang sama, mereka juga lalu dipersatukan oleh bahasa negara yang sama, yaitu bahasa Arab. Bahasa Arab kemudian menjadi bahasa Dunia Islam, bahkan hingga hari ini. Dari Maroko sampai Irak, dengan suku dan negara yang beraneka ragam, sampai hari ini masih bisa saling mengerti karena berbicara bahasa yang sama. Dulu Muslim di Turki, India, bahkan Nusantara juga menulis dengan huruf Arab dan menyerap banyak sekali kosakata dari bahasa Arab sebelum akhirnya penjajahan memaksa mereka menggunakan huruf Latin.

Namun, sampai hari ini, Islam dengan mudah dapat menyatukan kembali mereka seperti saat ritual ibadah haji. Selain sebagai ibadah, haji pernah berfungsi sebagai tempat peleburan (“melting pot”) umat Islam seluruh dunia. Di sanalah mereka saling bertemu, bertukar ilmu, pengalaman dan inspirasi perjuangan. Tidak perlu ada promosi khusus, haji akan terus ada, setiap tahun di tempat yang sama. Mungkin pada masa depan, sebelum atau setelah haji bisa diadakan kongres Muslim sedunia, dengan bagian-bagian khusus untuk para ulama, ilmuwan, penemu, pengusaha, dokter, insinyur, hingga politisi.

Proses revolutif pada muallaf.

Adapun proses revolutif yang muncul pada diri para muallaf, adalah bahwa Islam mengangkat akal mereka pada posisi yang tinggi dan mewujudkan akidah Islam sebagai asas berpikir. Kaidah itu lalu digunakan sebagai standar menilai benar atau rusaknya sesuatu. Ini telah mengubah mereka, dari keimanan naluriah (al-wijdâni) menuju keimanan berpikir (al-‘aqli); dari penyembahan berhala menuju penyembahan kepada Allah SWT—beserta segala konsekuensinya berupa pemikiran yang cemerlang dan pandangan yang luas.

Islam menjadikan mereka membenarkan kehidupan akhirat, termasuk tentang adanya siksa dan kenikmatan. Akhirnya, mereka berpandangan bahwa akhirat itu kehidupan yang hakiki, sedangkan kehidupan di dunia hanya bermakna jika dijadikan jalan menuju kehidupan akhirat. Karena itu mereka menerima kehidupan dunia ini, tidak menyia-nyiakannya, bahkan menikmati rezeki Allah yang baik; dan Islam menjadikan kehidupannya memiliki standar yang benar.

Sebelumnya, standar mereka hanya manfaat, dan inilah yang mendorong seluruh aktivitas mereka. Standar mereka berubah manjadi halal-haram. Pendorong aktivitasnya adalah perintah dan larangan Allah SWT. Tujuan mereka itu adalah ridha Allah SWT.
Mereka juga menjadikan nilai perbuatan sebagai sesuatu yang harus diraih di tiap perbuatan. Nilai itu bisa spiritual bila aktivitasnya ibadah, jihad, dan sebagainya. Bisa material, bila aktivitasnya jual-beli, sewa-menyewa, dan sebagainya. Bisa pula etikal, bila berbuat amanah, kasih-sayang dan sebagainya.

Mereka dapat membedakan antara tujuan perbuatan dan nilai perbuatan. Gambaran kehidupan dalam diri mereka yang dulu beragam pun akhirnya menjadi gambaran yang hakiki dengan tolok ukur baru yang mereka miliki, yaitu perintah dan larangan Allah.

Islam membekali mereka pandangan yang hakiki tentang kebahagiaan. Awalnya, kebahagiaan itu adalah hilangnya rasa lapar setelah makan atau terpenuhinya kenikmatan syahwat. Kemudian, mereka memandang kebahagiaan adalah ridha Allah SWT.

Hasil Peleburan

Demikianlah, Islam berhasil mempengaruhi pandangan hidup bangsa-bangsa pemeluknya. Islam mengubah prioritas suatu perkara. Ada prioritas yang naik, ada pula turun.

Awalnya, “kehidupan” memiliki prioritas tertinggi, sedangkan mabda’ lebih rendah. Islam membalikkan prioritas ini, dengan menjadikan mabda’ yang tertinggi, sedangkan “kehidupan” lebih rendah. Hasilnya, seorang Muslim akan mencurahkan hidupnya di jalan Islam. Hal ini otomatis menjadikan pemeluknya berani menanggung beban dan kesulitan di jalan Islam.

Sebelumnya, bangsa-bangsa tersebut memiliki tujuan tertinggi yang beraneka dan berubah-ubah. Sebelumnya mereka menganggap keberanian, sikap kesatria, membela kelompok, bangga terhadap harta, kedermawanan, loyal, keras dalam permusuhan, menuntut balas, dan yang sejenisnya adalah keutamaan. Lalu Islam datang dan tidak menjadikan hal-hal tersebut sebagai keutamaan. Islam tidak membiarkan pokok-pokok keutamaan itu apa adanya, tetapi sifat yang harus dimiliki sebagai wujud pelaksanaan perintah-Nya; bukan kerena nilai yang ada pada pokok-pokok keutamaan itu sendiri, bukan karena manfaat dan kebanggaan; juga bukan karena itu adat-istiadat, kebiasaan, atau warisan nenek moyang yang harus dipelihara. Islam menjadikan ketundukkan kepada Allah SWT sebagai sebuah kewajiban. Karena itu manfaat-manfaat individu, suku, bangsa dan umat wajib tunduk pada perintah Islam semata.

Kesimpulan

Dengan keempat faktor ini, semua bangsa yang tunduk pada Khilafah Islamiyah melepaskan diri dari keadaannya semula. Keempat faktor tersebut telah menyatukan tujuan-tujuan mereka dalam kehidupan menjadi tujuan yang satu, meninggikan kalimat Allah SWT.

Jadi, suatu keniscayaan jika seluruh bangsa-bangsa tersebut meleburkan diri ke dalam haribaan Islam sehingga menjadi umat yang satu, yaitu umat Islam. Mereka menjadi umat yang terkuat di dunia dan memimpin peradaban selama berabad-abad, menyebarkan Islam sebagai rahmat ke seluruh alam. WalLâhu a’lam. [Prof. Dr. Fahmi Amhar]


Posting Komentar untuk "METODE KHILAFAH "MENGELOLA" KEBHINEKAAN & MENYATUKAN NEGARA-NEGARA DI DUNIA"