KEJAYAAN EKONOMI PADA MASA KHILAFAH ISLAMIYAH



Oleh : KH. M. Shiddiq al-Jawi

Pendahuluan
Pada umumnya manusia lebih mudah percaya pada fakta daripada konsep atau teori. Sebab apa yang diindera manusia secara langsung, akan lebih menancap dan berkesan daripada konsep yang tersusun dari kata-kata semata (Al-Qaradhawi, 1995). Dalam dunia jurnalistik dikenal adagium bahwa sebuah gambar (potret) dapat bercerita lebih banyak daripada ribuan kata.
Karena itulah, pada kesempatan ini akan disajikan “potret” kejayaan ekonomi pada masa Khilafah Islamiyah yang telah lalu. Beberapa fragmen sejarah yang gemilang perlu diketahui, semisal masa Khalifah Umar bin Khaththab (13-23 H/634-644 M) atau masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/818-820 M).
Tujuannya agar kita lebih menyadari bahwa ekonomi Islam sesungguhnya bukan konsep baru sama sekali apalagi utopia, melainkan sebuah konsep praktis yang prestasi dan kesuksesannya telah dicatat dengan baik menggunakan tinta emas dalam lembaran sejarah.
Namun sebelumnya perlu ditandaskan, bahwa keberhasilan ekonomi Islam itu tidak muncul secara kebetulan atau tanpa syarat, melainkan ada syarat mutlaknya.
Ekonomi Islam hanya akan mungkin berhasil jika diterapkan dalam masyarakat Islam yang menerapkan Islam secara menyeluruh (kaffah), baik di bidang ekonomi itu sendiri maupun di bidang-bidang lainnya seperti politik, sosial, pendidikan, budaya, dan lain-lain (Al-Qaradhawi, 1995). Sebab sistem kehidupan Islam itu bersifat integral dan saling melengkapi. Islam tidak menerima pemilah-milahan ajaran sebagaimana dogma sekularisme yang kufur, di mana sebagian sistem Islam diamalkan dan sebagian lainnya dibuang ke tong sampah peradaban.
Maka jika ekonomi Islam diterapkan secara sepotong-sepotong dalam masyarakat yang menganut konsep ekonomi kafir dari penjajah, yakni kapitalisme, ia tidak mungkin efektif. Allah SWT memerintahkan kita untuk menghormati persyaratan mutlak ini, yakni penerapan Islam secara komprehensif, sesuai firman Allah SWT :
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya…” (QS Al-Baqarah [2] : 208)
Masa Khalifah Umar bin Khaththab
Pada era pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab selama 10 tahun, di berbagai wilayah (propinsi) yang menerapkan islam dengan baik, kaum muslimin menikmati kemakmuran dan kesejahteraan. Kesejehteraan merata ke segenap penjuru.
Buktinya, tidak ditemukan seorang miskin pun oleh Muadz bin Jabal di wilayah Yaman. Muadz adalah staf Rasulullah SAW yang diutus untuk memungut zakat di Yaman. Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, Muadz terus bertugas di sana. Abu Ubaid menuturkan dalam kitabnya Al-Amwal hal. 596, bahwa Muadz pada masa Umar pernah mengirimkan hasil zakat yang dipungutnya di Yaman kepada Umar di Madinah, karena Muadz tidak menjumpai orang yang berhak menerima zakat di Yaman. Namun, Umar mengembalikannya. Ketika kemudian Muadz mengirimkan sepertiga hasil zakat itu, Umar kembali menolaknya dan berkata,”Saya tidak mengutusmu sebagai kolektor upeti, tetapi saya mengutusmu untuk memungut zakat dari orang-orang kaya di sana dan membagikannya kepada kaum miskin dari kalangan mereka juga.” Muadz menjawab,”Kalau saya menjumpai orang miskin di sana, tentu saya tidak akan mengirimkan apa pun kepadamu.”
Pada tahun kedua, Muadz mengirimkan separuh hasil zakat yang dipungutnya kepada Umar, tetapi Umar mengembalikannya. Pada tahun ketiga, Muadz mengirimkan semua hasil zakat yang dipungutnya, yang juga dikembalikan Umar. Muadz berkata,”Saya tidak menjumpai seorang pun yang berhak menerima bagian zakat yang saya pungut.” (Al-Qaradhawi, 1995)
Subhanallah! Betapa indahnya kisah di atas. Bayangkan, dalam beberapa tahun saja, sistem ekonomi Islam yang adil telah berhasil meraih keberhasilan yang fantastis.
Dan jangan salah, keadilan ini tidak hanya berlaku untuk rakyat yang muslim, tapi juga untuk yang non-muslim. Sebab keadilan adalah untuk semua, tak ada diskriminasi atas dasar agama. Suatu saat Umar sedang dalam perjalanan menuju Damaskus. Umar berpapasan dengan orang Nashrani yang menderita penyakit kaki gajah. Keadaannya teramat menyedihkan. Umar pun kemudian memerintahkan pegawainya untuk memberinya dana yang diambil dari hasil pengumpulan shadaqah dan juga makanan yang diambil dari perbekalan para pegawainya (Karim, 2001).
Tak hanya Yaman, wilayah Bahrain juga contoh lain dari keberhasilan ekonomi Islam. Ini dibuktikan ketika suatu saat Abu Hurairah menyerahkan uang 500 ribu dirham (setara Rp 6,25 miliar)
(1) kepada Umar yang diperolehnya dari hasil kharaj propinsi Bahrain pada tahun 20 H/641 M. Pada saat itu Umar bertanya kepadanya, “Apa yang kamu bawa ini?” Abu Hurairah menjawab, “Saya membawa 500 ribu dirham.” Umar pun terperanjat dan berkata lagi kepadanya, “Apakah kamu sadar apa yang engkau katakan tadi? Mungkin kamu sedang mengantuk, pergi tidurlah hingga subuh.” Ketika keesokan harinya Abu Hurairah kembali maka Umar berkata, “Berapa banyak uang yang engkau bawa?” Abu Hurairah menjawab, “Sebanyak 500 ribu dirham” Umar berkata,”Apakah itu harta yang sah?” Abu Hurairah menjawab, “Saya tidak tahu kecuali memang demikian adanya.” (Karim, 2001; Muhammad, 2002)
Selama masa kekhalifahan Umar (13-23 H/634-644 M), Syria, Palestina, Mesir (bagian kerajaan Byzantium), Iraq (bagian kerajaan Sassanid) dan Persia (pusat Sassanid) ditaklukkan. Umar benar-benar figur utama penyebaran Islam dengan dakwah dan jihad. Tanpa jasanya dalam menaklukkan daerah-daerah tersebut, sulit dibayangkan Islam dapat tersebar luas seperti yang kita lihat sekarang ini (Karim, 2001, Ash-Shinnawy, 2006).
Dari sudut pandang ekonomi, berbagai penaklukan itu berdampak signifikan terhadap kesejahteraan rakyat. Ghanimah yang melimpah terjadi di masa Umar. Setelah Penaklukan Nahawand (20 H) yang disebut fathul futuh (puncaknya penaklukan), misalnya, setiap tentara berkuda mendapatkan ghanimah sebesar 6000 dirham (senilai Rp 75 juta), sedangkan masing-masing tentara infanteri mendapat bagian 2000 dirham atau senilai Rp 25 juta. (Ash-Shinnawy, 2006). Bagian itu cukup besar. Bandingkan dengan ghanimah Perang Badar, dimana setiap tentara muslim hanya mendapat 80 dirham (senilai Rp 1 juta) (Karim, 2001).
Meski rakyatnya sejahtera, Umar tetap hidup sederhana. Umar mendapatkan tunjangan (ta’widh) dari Baitul Mal sebesar 16.000 dirham (setara Rp 200 juta) per tahun, atau hanya sekitar Rp 17 juta per bulan (Muhammad, 2002). Ini berkebalikan dengan sistem kapitalisme-demokrasi sekarang, yang membolehkan penguasa berfoya-foya –dengan uang rakyat– padahal pada waktu yang sama banyak sekali rakyat yang melarat dan bahkan sekarat.
Masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz
Khalifah Umar yang ini juga tak jauh beda dengan Khalifah Umar yang telah diceritakan sebelumnya. Meskipun masa kekhilafahannya cukup singkat, hanya sekitar 3 tahun (99-102 H/818-820 M), namun umat Islam akan terus mengenangnya sebagai Khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat.
Ibnu Abdil Hakam dalam kitabnya Sirah Umar bin Abdul Aziz hal. 59 meriwayatkan, Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu berkata,”Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang-orang miskin. Namun saya tidak menjumpai seorang pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan semua rakyat pada waktu itu berkecukupan. Akhirnya saya memutuskan untuk membeli budak lalu memerdekakannya.” (Al-Qaradhawi, 1995).
Kemakmuran itu tak hanya ada di Afrika, tapi juga merata di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Basrah. Abu Ubaid dalam Al-Amwal hal. 256 mengisahkan, Khalifah Umar Abdul mengirim surat kepada Hamid bin Abdurrahman, gubernur Irak, agar membayar semua gaji dan hak rutin di propinsi itu. Dalam surat balasannya, Abdul Hamid berkata,”Saya sudah membayarkan semua gaji dan hak mereka tetapi di Baitul Mal masih terdapat banyak uang.” Umar memerintahkan,”Carilah orang yang dililit utang tapi tidak boros. Berilah dia uang untuk melunasi utangnya.” Abdul Hamid kembali menyurati Umar,”Saya sudah membayarkan utang mereka, tetapi di Baitul Mal masih banyak uang.” Umar memerintahkan lagi, “Kalau ada orang lajang yang tidak memiliki harta lalu dia ingin menikah, nikahkan dia dan bayarlah maharnya.” Abdul Hamid sekali lagi menyurati Umar,”Saya sudah menikahkan semua yang ingin nikah tetapi di Baitul Mal ternyata masih juga banyak uang.” Akhirnya, Umar memberi pengarahan,”Carilah orang yang biasa membayar jizyah dan kharaj. Kalau ada yang kekurangan modal, berilah pinjaman kepada mereka agar mampu mengolah tanahnya. Kita tidak menuntut pengembaliannya kecuali setelah dua tahun atau lebih.” (Al-Qaradhawi, 1995).
Sementara itu Gubernur Basrah pernah mengirim surat kepada Umar bin Abdul Aziz,”Semua rakyat hidup sejahtera sampai saya sendiri khawatir mereka akan menjadi takabbur dan sombong.” Umar dalam surat balasannya berkata,”Ketika Allah memasukkan calon penghuni surga ke dalam surga dan calon penghuni neraka ke dalam neraka, Allah Azza wa Jalla merasa ridha kepada penghuni surga karena mereka berkata,”Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya…” (QS Az-Zumar : 74). Maka suruhlah orang yang menjumpaimu untuk memuji Allah SWT.” (Al-Qaradhawi, 1995).
Meski rakyatnya makmur, namun seperti halnya kakeknya (Umar bin Khaththab), Khalifah Umar bin Abdul tetap hidup sederhana, jujur, dan zuhud. Bahkan sejak awal menjabat Khalifah, beliau telah menunjukkan kejujuran dan kesederhanaannya. Ini dibuktikan dengan tindakannya mencabut semua tanah garapan dan hak-hak istimewa Bani Umayyah, serta mencabut hak mereka atas kekayaan lainnya yang mereka peroleh dengan jalan kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan Khilafah Bani Umayyah. Khalifah Umar memulai dari dirinya sendiri dengan menjual semua kekayaannya dengan harga 23.000 dinar (sekitar Rp 12 miliar) lalu menyerahkan semua uang hasil penjualannya ke Baitul Mal (Al-Baghdadi, 1987). Subhanallah!
Penutup
Begitulah gambaran kemakmuran dan kesejahteraan di bawah sistem ekonomi Islam yang adil. Semua individu rakyat mendapatkan haknya dari Baitul Mal dengan tanpa perlu mengemis, menangis, mengeluh, dan memohon.
Bandingkan itu dengan realitas yang mengiris-iris hati saat ini. Betapa banyak rakyat jelata yang mengemis-ngemis, meraung-raung, dan bahkan melolong-lolong hanya untuk mendapat kesempatan mengais sesuap nasi dan seteguk air. Bukankah Anda sering melihat aparat penguasa yang zalim lagi arogan menggusur dengan kejam pedagang kaki lima yang melarat? Inilah kekejaman sekaligus kegagalan sistem kapitalisme yang diterapkan detik ini. Sistem kafir ini wajib segera kita hancurkan untuk kemudian kita ganti dengan sistem ekonomi Islam yang adil.
Wallahu a’lam.

CATATAN :
(1) 1 dirham kurang lebih senilai Rp 12.500 (per akhir Januari 2007). Standar 1 dirham = 2,975 gram perak. Harga perak 26 Januari 2007 (http://www.analisadaily.com/6-3.htm) adalah $13,27 per ounce (1 ounce = 28,35 gram). Dengan asumsi $1 = Rp 9.000,- akan diperoleh 1 dirham = Rp 12.532,-
DAFTAR BACAAN
Al-Baghdadi, Abdurrahman, Serial Hukum Islam, (Bandung : PT Alma’arif), 1987
Al-Basya, Abdurrahman Raf’at, Sosok Para Sahabat Nabi (Shuwar min Hayat ash-Shahabah), Penerjemah Abdulkadir Mahdamy, Jakarta : Qisthi Press, 2005
———-, Jejak Para Tabi’in (Shuwar min Hayat at-Tabi’in), Penerjemah Abu Umar Abdillah, Solo : At-Tibyan, Tanpa Tahun
Al-Qaradhawi, Yusuf, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan (Musykilah al-Faqr wa Kaifa ‘Alajaha al-Islam), Penerjemah Syafril Halim, Jakarta : Gema Insani Press, 1995
———-, Norma dan Etika Ekonomi Islam (Dawr al-Qiyam wa al-Akhlaq fi al-Iqtishad al-Islami), Penerjemah Zainal Arifin & Dahlia Husin, Jakarta : Gema Insani Press, 1997
Ash-Shinnawy, Abdul Aziz, Pembebasan Islam (Al-Futuhat al-Islamiyah/Islamic Opening), Penerjemah Abu Faiz, Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2006
Karim, Adiwarman Azwar (Ed.), Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta : IIIT, 2001
Muhammad, Quthb Ibrahim, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khaththab (As-Siyasah al-Maliyah li ‘Umar ibn al-Khaththab), Penerjemah Ahmad Syarifuddin Shaleh, Jakarta : Pustaka Azzam, 2002
Sulaiman, Thahir Abdul Muhsin, Menanggulangi Krisis Ekonomi Secara Islam (‘Ilaajul Musykilah al-Iqtishadiyah bi al-Islam), Penerjemah Anshori Umar Sitanggal, Bandung : PT Alma’arif, 1985

Posting Komentar untuk "KEJAYAAN EKONOMI PADA MASA KHILAFAH ISLAMIYAH"