Adab Mengajarkan Ilmu



 Ilmu menempati tempat yang agung dalam Islam. Islam pun mengajarkan adab menyebarkan ilmu. Tentu agar kebaikan dan keberkahaannya bisa diraih secara optimal. Salah satunya, sebagaimana ditegaskan dalam Min Muqawwimât an-Nafsiyyah al-Islâmiyyah:

بَثَّ اْلأَمَلَ دَائِمًا وَعَدَمَ التَّقْنِيْطِ وَالتَّيْئِيْسِ لاَ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ سُبْحَانَهُ وَ لاَ مِنْ نَصْرِهِ وَ فَرَجِهِ

Senantiasa membangkitkan  harapan  dan  tidak membuat putus asa, baik dari rahmat Allah, pertolongan-Nya, atau dari kelapangan-Nya.

 

Membangkitan  harapan  adalah  dengan  hal-hal yang  bisa menenteramkan orang yang diseru dan mempengaruhi jiwanya. Maksud ini tak akan bisa diraih kecuali dengan menyisipkan pesan-pesan mendalam al-Quran  dan  aa-Sunah. Hal itu bisa didukung dengan mengaitkan nas-nas al-Quran dan as-Sunnah dengan beragam fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Tatkala terjadi krisis penghidupan diikuti dengan berbagai bencana alam, misalnya, sebagai akibat jauhnya masyarakat dari syariah, maka bisa dikaitkan dengan peringatan dalam QS Thaha [20]: 124 dan QS ar-Rum [30]: 41. Tidak berhenti pada tataran tarhib (peringatan), tetapi juga diikuti dengan penjelasan solusi Islam, hingga lebih meyakinkan jiwa yang lalai untuk kembali kepada syariah-Nya:

لِسَانُ اْلحَالِ أَفْصَحُ مِنْ لِسَانِ اْلمقَالِ

Bahasa keadaan lebih fasih (menunjukkan realita) daripada bahasa lisan semata.     

 

Disampaikan juga seruan kepada kaum Muslim dengan firman Allah ’Azza wa Jalla:

وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٞ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ  ١٠٤

Hendaklah ada di antara kalian golongan yang menyerukan kebaikan, menyuruh kemakrufan dan melarang kemungkaran, dan mereka adalah orang-orang yang beruntung (QS Ali Imran [3]: 104).

 

Disampaikan pula kepada mereka as-Sunnah, seperti hadis-hadis yang menjelaskan tentang kebaikan akhir umat ini. Misalnya dengan hadis dari Durrah binti Abi Lahab, yang berkata: Seseorang berdiri ketika Rasulullah saw. di atas mimbar, lalu bertanya: “Siapakah sebaik-baiknya manusia?” Beliau saw. menjawab:

خَيْر النَّاسِ أَقْرَؤُهُمْ وَ أَتْقَاهُمْ وَ آمَرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَأَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأَوْصَلُهُمْ لِلرَّحِمِ

Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling taat, paling bertakwa di antara mereka, paling banyak menyuruh kemakrufan dan melarang kemungkaran serta paling banyak silaturahmi (HR Ahmad dan ath-Thabarani).

 

Bisa juga disampaikan kabar gembira dari Rasul saw. tentang kembalinya Khilafah yang  sesuai dengan metode  kenabian, penaklukan Konstantinopel dan Roma, peperangan dengan Yahudi dan terbunuhnya mereka, masuknya Khilafah ke tanah yang disucikan (Baitul Maqdis), berjayanya kembali kaum Muslim di akhir zaman, akan tegaknya kepemimpinan Khalifah al-Mahdi, turunnya Isa bin Maryam as., dan lain sebagainya. Itu semua perlu disampaikan dalam pengajaran kepada kaum Muslim untuk membangkitkan pengharapan mereka pada terbitnya kembali fajar kebangkitan Islam dan kaum Muslim. Rasulullah saw. bersabda:

إِنَّ اللَّهَ زَوَى لِي الْأَرْضَ، فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَإِنَّ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا وَأُعْطِيتُ الْكَنْزَيْنِ الْأَحْمَرَ وَالْأَبْيَضَ

Sesungguhnya Allah SWT telah mengumpulkan (dan menyerahkan) bumi kepadaku sehingga aku bisa menyaksikan timur dan baratnya. Sesungguhnya kekuasaan umatku akan mencapai apa yang telah dikumpulkan dan diserahkan kepadaku darinya, dan aku dianugerahi dua pembendaharaan, yakni merah (emas) dan putih (perak) (HR Muslim dan Ahmad).

 

Disampaikan pula untaian kisah-kisah agung sejarah kaum Muslim, seperti kisah perjuangan dakwah Rasulullah saw. dan para sahabatnya; kisah-kisah kemenangan mereka pada Perang Badar, Khandaq, al-Qadisiyah, Nahawand, Yarmuk, Ajnadin, Perang Tartar, ’Ain Jalut, dan berbagai futuhat agung yang tak terhitung jumlahnya. Itu semua di sampaikan dengan nuansa penuh keimanan dan heroik.

Dalam penuturan kisah-kisah agung di atas, misalnya, disorot besarnya keyakinan kaum Muslim pada pertolongan Allah, meskipun jumlah mereka jauh lebih sedikit dibandingkan pasukan musuh. Kisah-kisah agung ini harus diarahkan untuk mensakralisasi dan mengkristalisasi pemahaman dakwah dan jihad yang benar dalam benak kaum Muslim, bukan sekadar cerita sejarah, apalagi di-framing sebagaimana framing sesat kaum liberal.

Penting untuk diperhatikan bahwa itu semua perlu diawali dengan penanaman akidah Islam sebagai akidah ruhiyyah dan siyasiyyah dalam jiwa. Akidah ini memancarkan berbagai peraturan. Pemeluknya wajib terikat pada akidah ini  tatkala menjalani kehidupan, mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya kebenaran (min al-zhulumât ilâ al-nûr). Akidah inilah yang menjadi ruh perjuangan para pejuang Islam hingga menjadikan pemeluknya sebagai khayr ummah (sebaik-baiknya umat).

Itu semua perlu disokong oleh adab selanjutnya tatkala memberikan pengajaran dan penerangan:

إِحْسَانُ اِخْتِيَارِ مَوَاضِيِعِ الدُّرُوُسِ حَسْبَ الْوَاقِعِ الَّذِيْ يَعِيْشُ النَّاسُ

Pandai memilih topik pelajaran sesuai dengan fakta kehidupan manusia.

 

Salah satu adab pengajaran terpenting adalah kecermatan seorang pengajar/ pengemban dakwah mengawali pembicaraan dengan topik yang paling sesuai dengan realita kehidupan manusia. Poin akhirnya wajib diarahkan kembali pada solusi Islam. Hal ini diungkapkan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh objek yang diajak bicara, sebagaimana prinsip berbahasa:

لِكُلِّ مَقَامٍ مَقَالٌ

Untuk setiap keadaan itu ada tutur kata yang sesuai.

 

Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga agar pelajaran yang diberikan terasa hidup. Dengan begitu orang yang mendengarkan lebih tertarik dan lebih mudah diarahkan serta dipahamkan. Perhatikan pula, jika masyarakat tampak sedang membutuhkan pemantapan akidah, maka hal itu perlu dilakukan. Jika umat terlihat sedang disesatkan oleh sikap politik tertentu, maka persoalan itu harus dijelaskan. Jika telah tertanam pemikiran yang salah bahkan sesat menyesatkan, maka harus dipaparkan kesalahan dan kesesatannya, sekaligus dijelaskan pula pandangan yang benar. Demikian sebagaimana dikatakan oleh al-Qadhi Taqiyyuddin al-Nabhani, seperti meletakkan garis yang lurus disamping garis yang bengkok, hingga jelas perbedaannya.

Tidak terpuji jika seorang da’i fokus memilih topik pelajaran tentang al-khulu’ (perceraian atas permintaan istri), sementara negara-negara imperialis, misalnya, sedang ramai diberitakan memporakporandakan negeri-negeri kaum Muslim. Atau ia memilih topik, “Hukum Duduk untuk Takziyah” pada saat minyak bumi kaum Muslim sedang dijarah musuh. Atau membahas hukum-hukum tentang rambut, padahal ajaran Islam semisal Khilafah sedang di-framing buruk sedemikian rupa, dan yang semisalnya. Hal ini sebagaimana keteladanan para ulama dalam memperhatikan prioritas dakwah (al-awlawiyyat).

Itu semua perlu diuraikan dengan bahasa yang wajib disesuaikan dengan kemampuan pikiran mereka, sebagaimana adab:

مُخَاطَبَةُ النَّاسِ عَلَى قَدْرِ عُقُوْلِهِمْ

Menyeru manusia sesuai dengan kadar pikirannya.

 

Ali ra. berkata:

حَدِّثُوا النَّاسَ، بِمَا يَعْرِفُونَ أَتُحِبُّونَ أَنْ يُكَذَّبَ، اللهُ وَرَسُولُهُ

Berbicaralah kepada manusia dengan sesuatu yang mereka ketahui, apakah engkau suka Allah dan Rasul-Nya didustakan?  (HR al-Bukhari).

 

Al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani berkata dalam Al-Fath“Yang dimaksud dengan kata bimâ ya’rifûn, adalah bima yafhamûn (sesuatu yang mereka pahami).

Abdullah bin Mas’ud ra. juga berkata:

مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لاَ تَبْلُغُهُ عُقُوْلُهُمْ، إِلاَّ كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً

Tidaklah engkau berbicara kepada suatu kaum dengan pembicaraan yang tidak terjangkau akal mereka, kecuali akan menjadi fitnah bagi sebagian mereka (HR Muslim).

 

Dengan memperhatikan ketiga adab pengajaran di atas, bisa dioptimalkan proses pembinaan masyarakat.

Wa bilLâhi at-tawfîq. [Irfan Abu Naveed]

Posting Komentar untuk "Adab Mengajarkan Ilmu"